Terima kasih atas kunjungan anda, semoga membawa manfaat... Amieeeeen

Rabu, 17 Februari 2010

Bisnis Islam

Dalam dunia modern sekarang, bisnis merupakan aktivitas yang sangat kompleks. Hal itu karena kegiatan bisnis banyak terkait dan sekaligus dipengaruhi dan ditentukan oleh banyak faktor, seperti organisasi-manajerial, ilmiyah-teknologis, dan politik sosial kultural. Oleh karena itu, para pelaku bisnis (pebisnis) sekarang ini dituntut untuk memiliki profesionalisme yang tinggi. Sebab tanpa itu, kegiatan bisnis bukan saja tidak akan maju dan berkembang, melainkan justru ia akan hancur dan berantakan. Menurut para pelaku bisnis untuk menjadi orang profesional.

Hanya saja, sikap profesional dan profesionalisme yang dimaksudkan dalam dunia bisnis sering kali hanya terbatas pada kemampuan teknis menyangkut keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis : manajemen, produksi, pemasaran, keuangan, personalia, dan seterusnya. Hal mana itu semua selalu dikaitkan dengan prinsip efisiensi demi mendatangkan keuntungan yang besar.

Dalam kondisi seperti itu, yang sering dilupakan dan tidak banyak mendapat perhatian adalah profesionalisme dan sikap profesional sebenarnya juga mengandung pengertian kometmen pribadi pada profesi tersebut, dan pada kepentingan pihak-pihakyang terkait. Akan tetapi hal ini sering dilupakan atau memang sengaja dilupakan.

Oleh karena itu, sangat wajar apabila kegiatan bisnis tidak pernah dianggap sebagai sebuah profesi luhur. Sebaliknya, ia justru dianggap sebagai profesi kotor yang penuh tipu daya dan kecurangan. Namun anehnya, para pembisnis itu sendiri juga seakan tidak keberatan dengan tuduhan seperti itu, sebab bagi mereka, satu-satunya tujuan dari bisnis yang mereka jalankan adalah mencari keuntungan. Akibatnya, cara apapun kemudian dianggap “syah” asalkan tujuan tersebut bisa tercapai.

Koinsekuensinya, aspek moralitas dalam persaingan bisnis dianggap sebagai penghalang tujuan tersebut. Persaingan dalam dunia bisnis seringkali lebih merepresentasikan persaingan kekuatan modal: pelaku bisnis dengan modal besar akan terus berusaha memperbesar jangkauan bisnisnya sehingga mengakibatkan semakin tergeser dan tergusurnya para pengusaha kecil (pemodal kecil). Ini merupakan wujud nyata dari adanya persaingan bisnis yang tidak fair dan jelas-jelas tidak dilandasi dengan nilai-nilai moral.

Dengan adanya sikap seperti itu maka pada gilirannya muncul sebuah pemahaman bahwa bisnis merupakan sebuah aktivitas ekonomi manusia yang bertujuan mencari keuntungan semata. Dari situ, bisnis kemudian dianggap sebagai aktivitas manusia yang tidak terkait dengan sistem nilai-nilai apapun, termasuk etika. Bisnis dan etika dipahami sebagai dua bidang yang terpisah satu sama lain dan tidak mungkin bisa disatukan.

Hadirnya etika bisnis mempunyai peran penting dalam mengubah anggapan dan pemahaman tentang “kesadran sistem bisnis amoral” yang telah melekat dalam kesadaran masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, maka diharapkan bisnis tidak lagi dipandang sebagai aktivitas amoral yang mengabaikan nilai-nilai etika. Namun untuk melakukan perubahan ini tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena kegiatan bisnis amoral telah lama mengakar dan berkembang dalam kesadaran umat manusia. Bahkan ia telah menjadi kebiasaan yang membudaya dan mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Disinilah etika bisnis mempunyai posisi strategis untuk memberikan cakrawala dan wawasan bagi perubahan-perubahan mendasar dalam kegiatan bisnis.

Dalam posisi yang digambarkan di atas, pemikiran etika bisnis Islam muncul kepermukaan. Etika bisnis Islam merupakan tuntunan terhadap aktivitas bisnis yang didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qu’an. Dengan demikian, jika dilihat dari sudut pandang ini, etika bisnis tidak hanya terkait dengan aspek etika secara parsial dan terpisah. Ini berarti bahwa tujuan bisnis tidak semata-mata bersifat materiil-kuantitatif, tetapi sekaligus immateriil-kualitatif. Al-Qur’an tidak memisahkan tujuan materiil yang bersifat kuantitatif dari tujuan kualitatif yang bersifat immateriil. Sebaliknya, ia menyatukan tujuan keduanya dalam bingkai etika bisnis, yakni bisnis yang dilandasi oleh kesadaran menjauhkan diri dari praktik-praktik mal-bisnis yang bersifat destruktif, baik bagi pelaku bisnis itu sendiri maupun bagi masyarakat luas.

Etika bisnis al-qur’an, dengan demikian, memosisikan pengertian bisnis sebagai usaha manusia untuk mencari ridho Ilahi. Bisnis tidak hanya bertujuan jangka pendek, individual, dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematis, tetapi juga bertujuan jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial di hadapkan masyarakat, negara dan Allah. Dengan realitas seperti itu, maka semakin menjadi jelas bahwa di dalam Islam tidak ada pemisahan antara etika pada satu sisi dan bisnis pada sisi yang lain. Bisnis berada dalam satu kesatuan bangunan dengan etika.

Prinsi-prinsip etika bisnis dalam Al-Qur’an memberikan pandangan bahwa antara bisnis dan etika bukan merupakan dua bangunan yang terpisah, melainkan sebagai satu kesatuan struktur. Bisnis dalam pandangan Al-Qur’an bukan semata-mata upaya meraih keuntungan materiil, tetapi sekaligus berupaya mencapai tujuan spiritual, yakni pencapaian tujuan kemanusiaan sebagai pengejawantahan amanah sebagai mahluk dan sebagai khalifah untuk mencapai keridhoan Allah.

Dalam keterpaduan tersebut, Al-Qur’an memberikan bangunan paradigma bisnis, yakni bisnis yang dilakukan dengan kesadaran dan dibangun di atas nilai-nilai aksioma kesatuan, kehendak bebas, pertanggungjawaban, keseimbangan (keadilan), dan kebenaran (kebijakan dan kejujuran). Nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi landasan bagi penciptaan bisnis yang islami.

Etika bisnis adalah aplikasi etika umum yang mengatur perilaku bisnis. Norma moralitas merupakan landasan yang menjadi acuan bisnis dalam perilakunya. Dasar perilakunya tidak hanya hukum-hukum ekonomi dan mekanisme pasar saja yang mendorong perilaku bisnis itu tetapi nilai moral dan etika juga menjadi acuan penting yang harus dijadikan landasan kebijakannya.

Pemgelolaan bisnis dalam konteks pengelolaan secara etik mesti menggunakan landasan norma dan moralitas umum yang berlaku di masyarakat. Penilaian keberhasilan bisnis tidak saja ditentukan oleh keberhasilan prestasi ekonomi dan finansial semata tetapi keberhasilan itu diukur dengan tolak ukur paradigma moralitas dan nilai-nilai etika terutama pada moralitas dan etika yang dilandasi oleh nilai-nilai sosial dan agama. Tolak ukur ini harus menjadi bagian yang integral dalam menilai keberhasilan suatu kegiatan bisnis.

Secara ideal memang diharapkan kometmen aplikasi etika bisnis muncul dari dalam bisnis itu sendiri (para pengelola bisnis) seperti para pemilik, manajer, karyawan dan seluruh peran dan kepentingan stake holders yang lain yang secara etis harus juga diuntungkan (dalam pengertian diperlakukan secara adil) oleh pengelola bisnis. Oleh karena itu etika bisnis diaplikasikan disamping oleh pelaku bisnis itu sendiri sebagai kometmen diri yang memang muncul tuntutan dari dalam bisnis itu sendiri sebagai tuntutan profesionalisme pengelolaan bisnis. Tetapi juga oleh akibat dan tujuan yang diraih oleh lingkungan dan sosial yang ikut serta mendukung tujuan bisnis itu sendiri dalam jangka waktu panjang di masa datang.

Etika bisnis dalam implementasinya. Dan sebagai mana telah diterangkan diatas akan mengacu pada norma dan moralitas di masyarakat di mana bisnis itu eksis atau beroperasi.

Oleh karena itu secara konseptual implementasi etika bisnis di dalam kegiatan bisnis dapat disusun urut-urutannya bahwa etika didasarkan pada norma dan moralitas. Dari dasar etika tersebut maka etika bisnis mendasarkan diri pada moralitas dan norma, tetapi juga hukum dan peraturan yang berlaku di masyarakat.

Norma yang dijadikan landasan bagi para manajer dalam kegiatan bisnis mereka adalah peraturan dan perundang-undangan yang berlaku yang harus dipatuhi oleh pelaku bisnis. Sedang moralitas yang dipergunakan tolok ukur dalam menilai baik buruknya kegiatan bisnis yang mereka lakukan adalah cara pandang dan kekuatan diri dan masyarakat yang secara naluri atau insting dan secara kodrati semua manusia mampu membedakan benar dan tidaknya suatu tindakan yang dilakukan oleh pelaku bisnis atas dasar kepentingan bersama dalam pergaulan yang harmonis di dalam masyarakat. Dalam konteks ini ada dua acuan landasan yang dipergunakan, yaitu etika deskriptif dan etika normatif.

Etika deskriptif adalah objek yang dinilai sikap dan perilaku manusia dalam mengejar tujuan yang ingin dicapai dan bernilai sebagaimana adanya. Nilai dan pola perilaku manusia seperti apa adanya sesuai dengan tingkatan kebudayaan yang berlaku di masyarakat.

Etika normatif adalah sikap dan perilaku sesuai dengan norma dan moralitas yang ideal dan mesti dilakukan manusia / masyarakat.

Ada tuntutan yang menjadi acuan bagi semua pihak dalam menjalankan fungsi dan peran kehidupan dengan sesama dan lingkungan.

Di dunia modern etika dan tanggung jawab sosial bisnis merupakan pokok bahasan yang serius dalam diskusi-diskusi bisnis kontemporer tentang perencanaan-perencanaan kebijakan, manajemen proses, bahkan dilakukan pula oleh pemerintah. Secara umum dipahami bahwa etika bisnis merupakan penerapan nilai-nilai atau standar-standar moral dalam kebijakan, kelembagaan dan perilaku bisnis yang penerapannya akan dapat meningkatkan profitabilitas jangka panjang dan good will yang diperoleh dari citra positif dari bisnis yang dijalankan.

Serangkaian penemuan-penemuan baru, perubahan-perubahan organisasi bisnis, perdagangan seluruh dunia, apalagi semakin merebaknya bisnis di dunia maya atau dikenal dengan e-Business atau e-Commerce, tidak hanya mengubah cara-cara dalam memperoleh penghasilan, tetapi secara radikal mengubah seluruh cara hidup bahkan mengubah cara berpikir, khususnya karena berkembangnya kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan secara signifikan. Perubahan-perubahan besar dalam jalan hidup telah meningkatkan pengembangan teori-teori praktis yang menyangkut fungsi inti dari organisasi-organisasi bisnis.

Dengan fakta ini, etika bisnis merupakan salah satu dari disiplin ilmu yang berhubungan dengan persoalan-persoalan diatas dalam berbagai konteksnya. Etika bisnis menawarkan seperangkat nilai-nilai bisnis, agar dapat menjembatani persoalan-persoalan diatas dengan perubahan-perubahannya tanpa menyimpang dari makna dari hakikat kehidupan. Makana hakikat hidup bukan semata-mata melakukan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup, melainkan pencarian, pemaknaan, dan pengabdian bagi kelangsungan dan kesejahteraan kehidupan individual dan sosial baik di dunia maupun di kehidupan setelah kematian.

Dalam konteks bisnis perusahaan, penerapan etika bisnis di hadapkan dengan masalah-masalah yang meliputi proses, People, dan teknologi. Pada tataran prosesnya, etika bisnis berhadapan dengan masalah-masalah klasik, seperti, cash flow, personal network, quality,competention, dan endurance. Pada tataran people, etika bisnis dihadapkan dengan persoalan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum memadai, motivasi entrepreneur, dan keinginan untuk “cepat sukses”. Demikian pula dalam teknologi, etika bisnis berhadapan dengan tuntutan teknologi, yang mensyaratkan keserbacepatan dan efisiensi total dalam sistem kerja untuk mencapai suatu maksud dalam bisnis.

Menghadapi realitas tersebut, terdapat pilihan-pilihan yang dihadapkan untuk memilih antara empat pilihan. Keempat kondisi itu, yaitu: jika tidak etis maka akan tertinggal, etis tidak tertinggal, etis tertinggal, dan tidak etis tertinggal.

Terhadap pilihan-pilihan tersebut, konsepsi bisnis yang terpisah dari etika lebih banyak menjadikan etis tertinggal dan etis tidak tertinggal sebagai pilihan bisnis. Hanya saj dalam realitasnya kedua pilihan itu mempunyai kelemahan yang mendasar. Bisnis bukanlah dunia yang berdiri sendiri dan terpisah dari masyarakat.

Bisnis tidak bisa terlepas dari etika dikarenakan tiga hal, yakni pertama, bisnis tidak bebas nilai. Kedua, bisnis merupakan bagian dari sistem sosial. Dan ketiga, aolikasi etika bisnis identik dengan pengelolaan bisnis secara profesional. Perkembangan bisnis atau perusahaan, baik sebagai akibat maupun sebagai salah satu sebab perkembangan politik, ekonomi, sosial maupun teknologi serta aspek lingkungan di sekitarnya, jika selama ia berinteraksi dan menghasilkan barang dan jasa bagi masyarakat yang membutuhkannya maka bisnis atau perusahaan itu harus menyadari akan tanggung jawabnya terhadap lingkungannya, khususnya tanggung jawab sosial dengan segala aspeknya. Agar suatu perusahaan atau bisnis dapat mencapai tujuannya secara kontinyu dengan dukungan masyarakat luas manajemen harus menjaga efektifitas interaksi yang berlangsung antara perusahaan dan konsumen dan stakeholder-nya dengan cara-cara yang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma etika bisnis.

Pada hakikatnya etika merupakan bagian integral dalam bisnis yang dijalankan secara profesional. Dalam jangka panjang, suatu bisnis akan tetap berkesinambungan dan secara terus-menerus benar-benar menghasilkan keuntungan, jika dilakukan atas dasar kepercayaan dan kejujuran. Demikian pula suatu bisnis dalam suatu perusahaan akan berlangsung bila bisnis itu dilakukan dengan memberi perhatian kepada semua pihak dalam perusahaan (stakeholder approach). Inilah sebagian dari tujuan etika bisnis, yaitu agar semua orang yang terlibat dalam bisnis mempunyai kesadaran tentang adanya dimensi etis dalam bisnis itu sendiri, dan agar belajar bagaimana mengadakan pertimbangan yang baik secara etis maupun ekonomis.

Selasa, 16 Februari 2010

Pacaran dalam Islam

Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa.

Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.

Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).

Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?

Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !

Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud).

Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati."

Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !

Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.


Artikel II



Gimana sich sebenernya pacaran itu, enak ngga' ya? Bahaya ngga' ya ? Apa bener pacaran itu harus kita lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang bener ada pacaran yang Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu?

Memiliki rasa cinta adalah fitrah

Ketika hati udah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya...... dahsyat man...... yang diinget cuma si dia, pengen selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja demi cinta, rela ngelakuin apa aja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampe' akhirnya....... pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang gawat lagi, karena pengen bukti'in cinta, bisa buat perut buncit (hamil). Karena cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta ditolak .... dukun pun ikut bertindak.

Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalo ngga' terpenuhi manusia bakalan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (haajatul 'udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas, buang hajat de el el. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan aja, tapi kalo' kagak terpenuhi manusia ngga' bakalan mati, cuman bakal gelisah (ngga' tenang) sampe' terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah). Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu :
Gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui, de el el.
Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah.
Gharizatun nau' (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.

Pacaran dalam perspektif islam

In fact, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q. S. Al Isra' : 32)

Seringkali sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do'i. Pokoknya aktivitas pacaran itu dekat banget dengan zina. So....kesimpulannya PACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetep aja pacaran itu haram.

Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."
(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).

Jangan suka mojok atau berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi: "Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR. Imam Bukhari Muslim).

Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya." (Q. S. An Nuur : 31).

Dan juga sabda Nabi: "Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu."(HR. Thabrany).

Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA' (ketentuan) Allah, dimana manusia ngga' punya andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)."
Wallahu A'lam bish-Showab

Menikah dengan Non Muslim, Bolehkah dalam Islam?

Perkawinan beda agama atau seorang muslim menikah dengan penganut agama lain, di dalam hukum Islam setidaknya ada 2 pendapat yang berbeda, yakni:

Pendapat pertama, Islam mengharamkan seorang muslim baik pria maupun wanita menikah dengan penganut agama lain. Dasar hukumnya adalah firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah Ayat 221 yang artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (sumber: al-Qur’an Digital versi 2.1, www.alquran-digital.com)

Ditambah pula dalil ini dikuatkan dengan fatwa MUI yang mengharamkan pernikahan seorang muslim dengan penganut agama lainnya dengan alasan bahwa mafsadat yang ditimbulkan lebih besar dari maslahatnya. Sebab dikhawatirkan akan melemahnya keyakinan beragama seorang muslim, apalagi setelah mempunyai anak maka anak-anak merekapun akan bingung memilih agama mana yang akan mereka anut, dan mungkin saja merusak keharmonisan rumah tangga jika masing-masing orang tua memaksakan agamanya masing-masing kepada anak-anak mereka.

Pendapat kedua, memperbolehkan perkawinan dengan pemeluk agama lain, tetapi yang dibolehkan hanya dengan agama Yahudi dan Kristen atau Nasrani. Itupun boleh hanya jika prianya yang muslim. Namun jika wanitanya yang muslim menikah dengan pria agama Yahudi atau Kristen, tetap saja tidak boleh menurut pendapat ini. Dasar hukumnya adalah firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Maidah Ayat 5 yang artinya:

“….(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik….” (sumber: al-Qur’an Digital versi 2.1, www.alquran-digital.com)

Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan “wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab” adalah termasuk wanita-wanita dari kalangan agama Yahudi dan Kristen, sebab kedua agama ini mendapatkan Kitab Ilahi seperti orang Islam, sehingga disebut ahli kitab. Selain hal tersebut, pendapat ini diperkuat sebab mereka berpendapat bahwa jika prianya yang muslim, maka mungkin saja sang wanita dan anak-anaknya kelak akan mengikuti agama Islam, sebab laki-laki adalah pemimpin yang mempunyai andil sangat besar dalam rumahtangga. Namun jika logikanya seperti itu, mengapa hanya untuk agama Yahudi dan Kristen saja, mengapa tidak menghalalkan semua agama?

Sedangkan menurut pendapat penulis, lebih condong kepada pendapat pertama. Ketentuan dalam Surat al-Baqarah Ayat 221 sudah sangat jelas maknanya. Ditambah lagi dengan kesepakatan para Ulama Indonesia yang tergabung dalam MUI mengeluarkan fatwa haram menikah beda agama. Sebab menurut penulis, fatwa MUI merupakan ijtihad dari para ulama yang juga merupakan sumber hukum. Sedangkan mengenai kebolehan menikah dengan ahli kitab yang disebutkan dalam Surat al-Maidah Ayat 5, menurut perspektif penulis, ahli kitab yang dimaksudkan bukanlah orang-orang Yahudi dan Kristen ataupun Nasrani, tetapi ahli kitab yang dimaksud adalah orang-orang yang menganut agama yang berpegang pada kitab-kitab yang Allah turunkan sebelum al-Qur’an. Yahudi dan Kristen, memang memiliki kitab, dan semua agamapun mempunyai kitab suci, akan tetapi bukanlah kitab yang dimaksudkan Allah dalam al-Qur’an.

jual beli perspektif islam

Saudaraku! Kita adalah penduduk Indonesia yang bermazhabkan dengan mazhab Imam As Syafi'i, maka sudah sepantasnyalah untuk mengamalkan petuah beliau...

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيهِ بِالعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ فَعَلَيهِ بِالعِلْمِ

"Barang siapa yang menginginkan keuntungan di dunia, maka hendaknya ia berilmu dan barang siapa yang menginginkan keuntungan akhirat, maka hendaknya ia juga berilmu."

Petuah yang begitu indah dan layak untuk dituliskan dengan tinta emas. Betapa tidak, apalah yang akan menimpa kita bila kita beramal, baik urusan agama atau dunia tanpa dasar ilmu yang cukup.

Bila kita beramal dalam urusan agama tanpa dasar ilmu, maka tak ayal lagi kita akan terjerumus ke dalam amalan bid'ah. Dan bila dalam urusan dunia, niscaya kita terjerumus dalam perbuatan haram, atau kebinasaan.

Jauh-jauh hari Khalifah Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu telah berpesan kepada kaum muslimin secara umum:

اَ يَتَّجِرُ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ فَقُهَ وَإِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا. ذكره ابن عبد البر بهذا اللفظ.
ورواه مالك والترمذي بلفظ: لاَ يَبِعْ فِي سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ. حسنه الألباني

"Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita selain orang yang telah faham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba." (Ucapan beliau dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky)

Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At Tirmizy dengan teks yang sedikit berbeda: "Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita selain orang yang telah memiliki bekal ilmu agama." (Riwayat ini dihasankan oleh Al Albany)

Imam Al Qurthuby Al Maliky menjelaskan: "Orang yang bodoh tentang hukum perniagaan,–walaupun perbuatannya tidak dihalangi- maka tidak pantas untuk diberi kepercayaan sepenuhnya dalam mengelola harta bendanya. Yang demikian ini dikarenakan ia tidak dapat membedakan perniagaan terlarang dari yang dibenarkan, transaksi halal dari yang haram. Sebagaimana ia juga dikawatirkan akan melakukan praktek riba dan transaksi haram lainnya. Hal ini juga berlaku pada orang kafir yang tinggal di negri Islam." (Ahkaamul Qur'an oleh Imam Al Qurthuby Al Maaliky 5/29)

1. HUKUM ASAL SETIAP TRANSAKSI ADALAH HALAL

Hubungan interaksi antara sesama manusia, baik yang tunduk kepada syari'at atau yang keluar dari ketaatan kepadanya tidak terbatas. Setiap masa dan daerah terjadi berbagai bentuk dan model interaksi sesama mereka yang berbeda dengan bentuk interaksi pada masa dan daerah lainnya. Oleh karena bukan suatu hal bijak bila hubungan interaksi sesama mereka dikekang dan dibatasi dalam bentuk tertentu. Karena itulah dalam syari'at Islam tidak pernah ada dalil yang membatasi model interaksi sesama mereka. Ini adalah suatu hal yang amat jelas dan diketahui oleh setiap orang yang memahami syari'at islam, walau hanya sedikit.

Sebagai salah satu buktinya, dalam ilmu fiqih dikenal suatu kaedah besar yang berbunyi:

الأصل في الأشياء الإباحة، حتى يدل الدليل على التحريم

"Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya."

Kaedah ini didukung oleh banyak dalil dalam Al Qur'an dan As Sunnah, diantaranya adalah firman Allah Ta'ala:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً

"Dialah yang menciptakan untuk kamu segala yang ada di bumi seluruhnya." (Qs, Al-Baqarah 29)

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

أنتم أعلم بأمر دنياكم. رواه مسلم

"Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian." (Riwayat Muslim)

Adapun yang berkaitan dengan peniagaan secara khusus, maka Allah Ta'ala telah berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

"Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah 275)

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah bersabda:

إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا

"Bila dua orang telah berjaul-beli, maka masing-masing dari keduanya memiliki hak pilih, selama keduanya belum berpisah dan mereka masih bersama-sama (satu majlis)." (Riwayat Al Bukhary no: 4917, dan Muslim no: 1531, dari hadits riwayat Ibnu Umar radhiallahu 'anhu)

عن رافع بن خديج قال: قيل يا رسول الله! أي الكسب أطيب؟ قال: عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور. رواه أحمد والطبراني والحاكم وصححه الألباني

"Dari sahabat Rafi' bin Khadij ia menuturkan: "Dikatakan (kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) Wahai Rasulullah! Penghasilan apakah yang paling baik? Beliau menjawab: "Hasil pekerjaan seseorang dangan tangannya sendiri, dan setiap perniagaan yang baik." (Riwayat Ahmad, At Thabrany, Al Hakim, dan dishahihkan oleh Syeikh Al Albany. Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak sekali.)

Para ulama' juga telah menyepakati bahwa perniagaan adalah pekerjaan yang dibolehkan, dan kesepakatan ini telah menjadi suatu bagian dari syari'at Islam yang telah diketahui oleh setiap orang. Sebagai salah satu buktinya, setiap ulama' yang menuliskan kitab fiqih, atau kitab hadits, mereka senantiasa mengkhususkan satu bab untuk membahas berbagai permasalahan yang terkait dengan perniagaan.

Berangkat dari dalil-dalil ini, para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah boleh, selama tidak menyelisihi syari'at.

2. SEBAB-SEBAB DIHARAMKANNYA SUATU PERNIAGAAN

Bila telah dipahami bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, maka hal yang semestinya dikenali ialah hal-hal yang menjadikan suatu perniagaan diharamkan dalam Islam. Karena hal-hal yang menyebabkan suatu transaksi dilarang sedikit jumlahnya, berbeda halnya dengan perniagaan yang dibolehkan, jumlahnya tidak terbatas.

Imam Ibnu Rusyud Al Maliky berkata: "Bila engkau meneliti berbagai sebab yang karenanya suatu perniagaan dilarang dalam syari'at, dan sebab-sebab itu berlaku pada seluruh jenis perniagaan, niscaya engkau dapatkan sebab-sebab itu terangkaum dalam empat hal:

Barang yang menjadi obyek perniagaan adalah barang yang diharamkan.

  1. Adanya unsur riba.
  2. Adanya ketidak jelasan (gharar).
  3. Adanya persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di atas (riba dan gharar).

Inilah hal-hal paling utama yang menjadikan suatu perniagaan terlarang." (Bidayatul Mujtahid 2/102)

Perincian dari keempat faktor di atas membutuhkan penjelasan yang panjang dan lebar, sehingga pembahasannyapun membutuhkan waktu yang lebih luas.

Keempat faktor yang disebutkan oleh imam Ibnu Rusyud di atas, adalah faktor penyebab terlarangnya suatu perniagaan dan yang terdapat pada rangkaian perniagaan tersebut.

Masih ada faktor-faktor lain yang menjadikan suatu perniagaan dilarang, akan tetapi faktor-faktor tersebut merupakan faktor luar. Diantara faktor-faktor tersebut ialah:

1. Waktu.

Dilarang bagi seorang muslim untuk mengadakan akap perniagaan setelah muazzin mengumandangkan azan kedua pada hari jum'at. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Qs. Al Jum'ah: 9)

2. Penipuan.

Telah diketahui bersama bahwa penipuan diharamkan Allah, dalam segala hal. Dan bila penipuan terjadi pada akad perniagaan, maka tindakan ini menjadikan perniagan tersebut diharamkan:

البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما. متفق عليه

"Kedua orang yang saling berniaga memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah, dan bila keduanya berlaku jujur dan menjelaskan, maka akan diberkahi untuk mereka penjualannya, dan bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan dihapuskan keberkahan penjualannya." (Muttafaqun 'alaih)

Pada hadits lain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan:

من غشنا فليس منا

"Barang siapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk golongan kami." (Riwayat Muslim)

3. Merugikan orang lain.


عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تحاسدوا ولا تناجشوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يبع بعضكم على بيع بعض وكونوا عباد الله إخوانا، المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يخذله ولا يحقره. متفق عليه

"Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah sebagian dariu kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya." (Muttafaqun 'alaih)

Diantara bentuk-bentuk perniagaan yang merugikan orang lain ialah:

a. Menimbun barang dagangan.

Diantara bentuk penerapan terhadap prinsip ini ialah diharamkannya menimbun barang kebutuhan masyarakat banyak, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

من احتكر فهو خاطئ. رواه مسلم وغيره.

"Barang siapa yang menimbun maka ia telah berbuat dosa." (Riwayat Muslim)

b. Melangkahi penawaran atau penjualan sesama muslim.


لا تلقوا الركبان ولا يبع بعضكم على بيع بعض ولا تناجشوا ولا يبع حاضر لباد. رواه البخاري ومسلم

"Janganlah kamu menghadang orang-orang kampung yang membawa barang dagangannya (ke pasar), dan janganlah sebagian dari kamu melangkahi penjualan sebagian yang lain, dan jangalan kamu saling menaikkan tawaran suatu barang (tanpa niat untuk membelinya), dan janganlah orang kota menjualkan barang dagangan milik orang kampung." (Riwayat Bukhary dan Muslim)

c. Percaloan.


عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : لا يبع حاضر لباد دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض. رواه مسلم

"Dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah orang kota menjualkan barang-barang milik orang kampung, biarkanlah masyarakat, sebagian diberi rizki oleh Allah dari sebagian lainnya." (Riwayat Muslim)

3. JENIS-JENIS AKAD DAN BERBAGAI KONSEKUENSI HUKUMNYA

Diantara hal prinsip yang seyogyanya diketahui oleh setiap pengusaha atau calon pengusaha ialah mengenali macam-macam akad dan konsekwensi hukumnya masing-masing. Hal ini penting untuk diketahui dan senantiasa diperhatikan, sebab menurut pengalaman pribadi saya, dengan menguasainya pembagian akad dan konsekwensi masing-masing, memudahkan kita dalam memahami berbagai hukum syariat terkait dengannya. [Pembagian macam-macam akad ini saya sarikan dari beberapa referensi berikut: Qawaidh Ibnu Rajab Al Hambaly 1/375, kaedah ke-52, & 2/418, kaedah ke-105, Al Muwafaqat oleh As Syathiby 3/199, As Syarhul Mumti' oleh Syeikh Ibnu Utsaimin 8/278, 9/120, 127-129, Ad Dirasyat As Syar'iyah li Ahammil uqud Al Maliyyah Al Mustahdatsah, oleh Dr. Muhammad Musthofa As Syinqity 1/73-89]

A. Pembagian akad ditinjau dari tujuannya.

Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang atau lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga macam:

Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap orang yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.

Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar. Sehingga setiap orang tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia mengetahui bahwa lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah terjalin dengannya.

Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah), dll.

Syari'at Islam pada prinsipnya membenarkan bagi siapa saja untuk mencari keuntungan melalui akad macam ini.

Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan mencari keuntungan non materi.

Biasanya yang menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan.

Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan [1], peminjaman, shadaqah, hadiyah, pernikahan, dll.

Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syari'at Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.

يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Qs. Al-Baqarah: 276)

Pada ayat ini Allah Ta'ala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini adalah isyarat bagi kita bahwa praktek riba adalah lawan dari shadaqah. Isyarat ini menjadi semakin kuat bila kita mencermati ayat-ayat selanjunya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ . فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ . وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Qs. Al-Baqarah: 278-280)

Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

"Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba." (Baca Al Muhazzab oleh As Syairazy 1/304, Al Mughny oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, As Syarhul Mumti' 9/108-109 dll)

Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang. Dengan demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan kepadanya. Bila kreditur mendapatkan manfaat atau keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas.

Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak ada seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari pemiliknya.

لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه. رواه أحمد والدارقطني والبيهقي، وصححه الحافظ والألباني

"Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya." (Riwayat Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany)

Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika akad jual beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya [2] yang dilakukan dengan pembayaran dihutang. (Baca Majmu' Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 14/176-177, fatwa no: 20244)

Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan dibayarkan setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad penjualan sedang berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut. Karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun.

Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu adalah riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di atas.

Diantara akad yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu), jaminan (kafalah), persaksian (syahadah) dll.

Manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari tujuannya.

Dengan memahami pembagian akad ditinjau dari tujuannya semacam ini, kita dapat memahami alasan dan hikmah diharamkannya riba. Sebagaimana kita dapat memahami hikmah pembedaan antara riba dengan akad jual-beli:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Qs. Al Baqarah: 275)

Diantara faedah mengetahui pembagian akad ditinjau dari tujuannya semacam ini, akan nampak disaat terjadi perselisihan yang diakibatan oleh adanya cacat pada barang yang menjadi obyek suatu akad. Karena adanya cacat pada obyek tersebut akan sangat berpengaruh pada proses akad jenis pertama. Tetapi keberadaan cacat tersebut tidak memiliki pengaruh apapun pada akad jenis kedua dan ketiga.

B. Pembagian akad ditinjau dari konsekuensinya.

Akad sesama manusia bila ditinjau dari sifat dasar akad tersebut, maka kita dapat mengelompokkannya menjadi dua kelompok besar:

Pertama: Akad yang mengikat kedua belah pihak.

Maksud kata "mengikat" disini ialah bila suatu akad telah selesai dijalankan dengan segala persyaratannya, maka konsekwensi akad tersebut sepenuhnya harus dipatuhi dan siapapun tidak berhak untuk membatalkan akad tersebut tanpa kerelaan dari pihak kedua, kecuali bila terjadi cacat pada barang yang menjadi obyek akad tersebut.

Diantara contoh akad jenis ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, dll

Kedua: Akad yang mengikat salah satu pihak saja, sehingga pihak pertama tidak berhak untuk membatalkan akad ini tanpa izin dan kerelaan pihak kedua, akan tetapi pihak kedua berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka.

Diantara contoh akad jenis ini ialah: Akad pergadaian (agunan). Pada akad ini pihak pemberi hutang berhak mengembalikan agunan yang ia terima kapanpun ia suka, sedangkan pihak penerima hutang sekaligus pemilik barang yang dijadikan agunan/digadaikan tidak berhak untuk membatalkan pegadaian ini tanpa seizin dari pihak pemberi piutang.

Ketiga: Akad yang tidak mengikat kedua belah pihak.

Maksudnya masing-masing pihak berhak untuk membatalkan akad ini kapanpun ia suka dan walaupun tanpa seizin dari pihak kedua, dan walaupun tanpa ada cacat pada obyek akad tersebut.

Diantara contoh akad jenis ini ialah: akad syarikat dagang, mudharabah (bagi hasil) penitipan, peminjaman, wasiat, dll.

Manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari konsekwensinya.

Dengan mengetahui pembagian macam-macam akad ditinjau dari sisi ini, kita dapat mengetahui hukum berbagai persengketaan yang sering terjadi di masyarakat karena perselisihan tentang siapakah yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi pada barang yang menjadi obyek suatu akad.

Diantara manfaat mengetahui pembagian akad ditinjau dari sisi ini ialah: kita dapat mengetahui hukum memutuskan akad yang telah dijalin, karena pada akad jenis pertama, tidak dibenarkan bagi siapapun dari pihak-pihak yang telah melangsungkan akad untuk membatalkannya kecuali dengan seizin pihak kedua.

Sedangkan pada akad jenis kedua, maka bagi pihak yang terikat dengan akad tersebut tidak dibenarkan untuk memutuskan atau membatalkan akadnya kecuali atas seizin pihak kedua, akan tetapi pihak kedua berhak membatalkannya kapanpun ia suka, walau tanpa seizin pihak pertama.

Sedangkan pada akad jenis ketiga, kedua belah pihak berhak untuk membatalkan akadnya, kapanpun ia sudan dan tanpa persetujuan pihak kedua.

Dan masih banyak lagi pembagian macam-macam akad, ditinjau dari berbagai hal, akan tetapi yang saya rasa penting untuk diketahui adalah dua pembagian yang telah saya sebutkan di atas.

4. KEUNTUNGAN DALAM SYARIAT ISLAM

Sejalan dengan kuatnya pengaruh pola pikir orang-orang non muslim yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, maka kebanyakan ekonom muslimpun menjadi sempit pandangan terhadap arti keuntungan.

Para ekonom muslim banyak yang membeo dengan teori dan doktrin musuh-musuh mereka. Sikap membeo ini dapat kita buktikan dengan nyata pada dua doktrin besar:

  • Keuntungan hanya ada satu, yaitu keuntungan materi atau yang berujung pada materi.
  • Setiap dana yang kita kelola sendiri atau digunakan oleh saudara kita, maka harus mendatangkan keuntungan materi. Terkesan bahwa dunia usaha pasti menguntungkan, ia lupa bahwa dunia usaha juga mengenal kerugian.

Dua doktrin ini adalah cerminan dari jauhnya para pelaku kegiatan ekonomi zaman sekarang dari keimanan kepada Allah dan hari akhir.

Dua doktrin ini adalah salah satu penyebab terjerumusnya para pengusaha ke dalam perbuatan haram, mengejar keuntungan materi dengan menghalalkan segala macam cara:

يا معشر التجار! فاستجابوا لرسول الله صلى الله عليه و سلم ورفعوا أعناقهم وأبصارهم إليه، فقال: إن التجار يبعثون يوم القيامة فجارا، إلا من اتقى الله وبر وصدق. رواه الترمذي وابن حبان والحاكم وصححه الألباني


"Wahai para pedagang! Maka mereka memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka menengadahkan leher dan pandangan mereka kepada beliau. Lalu beliau bersabda: "Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan kelak pada hari qiyamat sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur." (Riwayat At Timizy, Ibnu Hibban, Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Albany)

Saudaraku! Sudah barang tentu, dua doktrin ini tidak dapat dan tidak boleh diamalkan oleh umat Islam.

Syari'at Islam telah mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki pandangan yang luas tentang keuntungan usaha.

Islam telah mengenalkan kepada umatnya bahwa keuntungan usaha dapat terwujud dalam dua hal:

  • Keuntungan materi.
  • Keuntungan non materi, yang berupa keberkahan, pahala dan keridhaan Allah.

Saudaraku, renungkanlah dua hadits berikut:

Hadits pertama:

عن حكيم بن حزام رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما، وإن كذبا وكتما محقت بركة بيعهما. متفق عليه


"Dari sahabat Hakim bin Hizam radhiallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih selama keduanya belum berpisah, bila keduanya berlaku jujur dan menjelaskan, maka akan diberkahi untuk mereka penjualannya, dan bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan dihapuskan keberkahan penjualannya." (Muttafaqun 'alaih)

Hadits kedua:


عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أتى الله بعبد من عباده آتاه الله مالا، فقال له: ماذا عملت في الدنيا؟ قال: ولا يكتمون الله حديثا. قال: يا رب آتيتني مالك، فكنت أبايع الناس، وكان من خلقي الجواز، فكنت أتيسر على الموسر وأنظر المعسر، فقال الله: أنا أحق بذا منك، تجاوزوا عن عبدي. متفق عليه

"Sahabat Huzaifah radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam besabda: "Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian) [Surat An Nisa 42] Iapun menjawab: Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu. Kemudian Allah berfirman: Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini." (Muttafaqun 'alaih)

Berdasarkan inilah, Syari'at Islam membagi transaksi ditinjau dari tujuannya ke dalam tiga bagian besar, sebagaimana telah dijelaskan pada poin pertama.

Adapun batasan keuntungan yang dibenarkan syari'at, maka sebenarnya tidak ada dalil yang membatasinya. Dengan demikian berapapun keuntungan yang diambil oleh seorang pengusaha, maka itu sah-sah saja, asalkan didasari oleh asas suka sama suka.

عن عروة البارقي رضي الله عنه قال أعطاني رسول الله صلى الله عليه و سلم دينارا أشتري به أضحية أو شاة فاشتريت شاتين فبعت إحداهما بدينار فأتيته بشاة ودينار. فدعا له بالبركة في بيعه، فكان لو اشترى التراب لربح فيه. رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه

"Dari sahabat Urwah Al Bariqy radhiallahu 'anhu, ia mengisahkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberiku uang satu dinar agar aku membelikan untuknya seekor kambing korban, atau seekor kambing, kemudian akupun membeli dua ekor kambing (dengan uang satu diner tersebut), dan kemudian aku menjual kembali seekor kambing seharga satu dinar, sehingga aku datang menemui beliau dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia membeli debu, niscaya ia akan mendapatkan laba darinya." (Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan Ibnu Majah)

Walau demi, dianjurkan kepada setiap pengusaha muslim untuk memudahkan dan meringankan saudaranya dalam setiap urusannya, tanpa terkecuali dalam hal perniagaan.

عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أتى الله بعبد من عباده آتاه الله مالا، فقال له: ماذا عملت في الدنيا؟ قال: ولا يكتمون الله حديثا. قال: يا رب آتيتني مالك، فكنت أبايع الناس، وكان من خلقي الجواز، فكنت أتيسر على الموسر وأنظر المعسر، فقال الله: أنا أحق بذا منك، تجاوزوا عن عبدي. متفق عليه

"Sahabat Huzaifah radhiallahu 'anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam besabda: "Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian) [Surat An Nisa 42] Iapun menjawab: Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu. Kemudian Allah berfirman: Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini." (Muttafaqun 'alaih)

Saudaraku! Sebagaiman telah disinggung di atas, bahwa dunia usaha selalu mengenal dua sejoli yang senantiasa berpasang-pasangan, yaitu keuntungan dan kerugian. Pertanyaan yang seyogyanya anda renungkan ialah: Siapakah yang berhak mendapatkan keuntungan (materi) dalam syari'at islam?

Jawabannya: Yang berhak mendapat keuntungan ialah orang yang siap menerima kenyataan dunia usaha apa adanya. Bila dunia usaha merugi, maka ia siap menaggungnya dan bila menguntung, maka iapun dengan senang hati menerimanya. Pengusaha yang demikian inilah yang berhak mendapatkan keuntungan. Inilah salah satu prinsip perniagaan yang digariskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melalu sabdanya:

الخراج بالضمان

"Penghasilan/kegunaan adalah imbalan atas kesiapan menanggung jaminan." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

5. ASAS SUKA SAMA SUKA

Islam adalah syarai'at yang benar-benar menghormati hak kepemilikan umatnya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi siapapun untuk memakan atau menggunakan harta saudaranya kecuali bila sudaranya benar-benar merelakannya, baik melalui perniagaan atau lainnya.

Allah Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (Qs. An Nisa': 29)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا وَلاَ جَادًّا، وَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا. رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصححه الألباني

"Janganlah sekali-kali salah seorang darimu mengambil harta saudaranya, baik berpura-pura atau sungguh-sungguh.Dan barang siapa yang terlanjur mengambil –sebagai contoh- tongkat saudaranya, hendaknya ia segera mengembalikannya." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

Pada hadits lain, beliau juga bersabda:

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ. رواه أحمد والدارقطني والبيهقي، وصححه الحافظ والألباني

"Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya." (Riwayat Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany)

Dan dalam hadits lain beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda secara khusus tentang perniagaan:

إنما البيع عن تراض. رواه ابن ماجة وابن حبان وصححه الألباني

"Sesungguhnya perniagaan itu hanyalah perniagaan yang didasari oleh rasa suka sama suka." (Riwayat Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albany)

Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi kedua belah pihak yang menjalankan suatu transaksi untuk berpisah kecuali bila telah tercapai kata sepakat.

Bila tidak ada kata sepakat, maka transaksipun tidak ada.

لا يفترقن اثنان إلا عن تراض. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والبيهقي وصححه الألباني

"Janganlah sekali-kali kedua orang yang berjual-beli saling berpisah kecuali atas dasar suka-sama suka." (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, Al Baihaqy, dan dishahihkan oleh Al Albany)

Berdasarkan persyaratan ini, maka tidak sah akad penjualan yang dilakukan oleh orang yang dipaksa tanpa ada alasan yang dibenarkan.

Orang yang dipaksa adalah orang yang dipojokkan sehingga tidak dapat menolak penjualan tersebut, sehingga ia terpaksa menjual hartanya. Misalnya bila ada seseorang memaksa orang lain untuk menjual hartanya, dan bila tidak, ia akan dibunuh, kemudian karena takut dibunuh pemilik barang tersebut terpaksa menjualnya, maka akad penjualan itu tidak sah, karena akad tersebut tidak didasari oleh asas suka sama suka

Syeikkh Ibnu Utsaimin rahimahullah mencontohkan contoh lain bagi persyaratan ini: "Bila anda mengetahui bahwa penjual ini menjual barangnya kepada anda karena semata-mata rasa malu dan segan, maka tidak boleh bagi anda untuk membeli darinya, selama anda tahu bahwa seandainya bukan karena rasa malu dan segan, niscaya ia tidak akan menjual barang itu kepada anda. Oleh karena itu para ulama' rahimahumullah berkata: haram hukumnya menerima hadiah dari seseorang yang ia memberikankan hadiah itu kepada anda hanya karena rasa malu dan segan, karena walaupun ia tidak berterus terang bahwa ia tidak ridha/ rela, akan tetapi gelagatnya menunjukkan dengan jelas bahwa ia tidak rela." (As Syarhul Mumti' 8/121-122)

Perlu dicatat: bahwa maksud paksaan di sini ialah paksaan yang dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan.

Akan tetapi bila ada orang yang dipaksa untuk menjual hartanya dengan alasan yang dibenarkan, dan kemudian iapun menjual barangnya, maka penjualannya itu sah. Sebagai konsekwensinya, kitapun dibenarkan untuk membeli darinya barang tersebut. Yang demikian itu, karena akad ini bertujuan menegakkan kebenaran, dan tidak bermaksud menimpakan kedlaliman atau merampas harta orang lain.

Contohnya: Orang yang telah menggadaikan rumahnya kepada seseorang sebagai jaminan atas suatu piutang yang ia tanggung, dan ketika jatuh tempo pembayaran hutang, penerima hutang tidak mampu membayar hutangnya, maka rumah yang telah ia gadaikan harus dijual guna melunasi hutangnya, tanpa memperdulikan apakah pemilik rumah rela dengan penjualan tersebut atau tidak.

Demikian apa yang dapat saya utarakan pada kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.

اللَّهُمَّ اكْفِنِا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

"Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu." Wallahu a'alam bisshowab.

Footnotes:

[1] Yang dimaksud dengan penitipan di sini ialah penitipan yang tanpa dipungut upah. Adapun penitipan yang sering terjadi di masyarakt, misalnya penitipan sepeda motor, mobil, dll yang dipungut biaya penitipan, maka akad ini sebenarnya bukan akad penitipan, akan tetapi akad jual-beli jasa, yang diistilahkan dalam ilmu fiqih dengan akad ijarah (kontrak kerja).

[2] Yang dimaksud dengan akad yang serupa dengan keduanya ialah seluruh akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan.

Tips Cara Menyeberang Jalan Yang Benar

Agar diri anda dan orang lain yang turut anda seberangkan aman sampai di seberang jalan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Dengan memperhatikan hal-hal di bawah ini maka mudah-mudahan tidak akan terjadi hal-hal yang tidak anda inginkan.

- Berdoalah kepada Tuhan anda agar selamat sampai di tujuan.

- Apabila anda mesih kecil atau memiliki badan yang sangat kecil, sebaiknya anda menyeberang jalan tidak sendirian, tetapi ditemani oleh orang lain yang sedang menyeberang, atau bisa juga meminta bantuan orang lain untuk menyeberangkan anda. Pengemudi anda kesulitan untuk melihat penyebrang jalan berbadan kecil dan ada kemungkinan untuk panik jika melihat anak kecil menyebrang jalan sendirian.

- Perhatikan keadaan sekitar anda dan identifikasi sesaat apakah terdapat zebra cross, lampu penyebrang jalan, lampu merah atau jembatan penyebrangan. Bila ada, gunakanlah dan jangan mengambil jalan pintas dengan menyeberang jalan tidak pada tempatnya. Biasanya dinas yang terkait sudah memperhitungkan dengan matang dalam hal pemasangan alan bantu penyebrangan jalan, sehingga resiko anda tertabrak akan jauh lebih kecil.

- Selalu melihat ke arah kanan (arah datang kendaraan) anda lalu ke kiri sebelum bergerak untuk menyebrang jalan. Ada kemungkinan dari arah yang berlawanan terdapat pejalan kaki, pengendara sepeda, bahkan motor yang bisa anda tabrak saat menyebrang. Kemudian saat sampai di batas lajur kendaraan kedua arah, maka anda harus menggunakan metode kebalikan dari di atas. Apabila anda menyebrang rel kereta api, maka anda harus melihat arah yang kebalikan dari jalur mobil yaitu ke kiri baru ke kanan, karena kereta api datang dari sebelah kiri anda, berbeda dengan mobil.

- Perhitungkan waktu dengan mengira-ngira berapa lama kecepatan mobil yang datang ke arah anda saat anda meu menyebrang. Kemudian dengan insting anda perhitungkan juga kecepatan jalan atau lari anda. Anda punya dua pilihan yaitu lari atau jalan. Apabila arus kendaraan sedang padat dan kecepatan sedang, maka anda sebaiknya berlari ketika ada kesempatan.

- Apabila terdapat dua lajur kendaraan untuk arah yang sama, maka jangan menyebrang jika arus kepadatan dan kecepatan kendaraan tidak memungkinkan anda untuk menyebrang. Jika anda nekat, maka bisa terjadi insiden yang dapat menimpa anda maupun orang lain. Menyebranglah ketika jalur yang ada dihadapan anda sedang kosong, dan disusul beberapa saat kemudian jalur yang sebelah jalur tadi kosong.

- Gunakan tangan anda untuk memberi sinyal agar pengendara memperlambat laju kendaraannya. Apabila anda melakukan hal ini maka pengendara akan lebih awas dan akan menghormati anda daripada penyebrang jalan yang tidak memberi tanda menyebrang jalan. Namun juga tanda yang diberikan sebaiknya decan cara yang sopan, tidak dengan mengepalkan tangan ke arah pengendara agar pengendara kendaraan tidak menjadi berang dan mencaci anda.

- Anda juga bisa mempergunakan kesempatan menyebrang jalan ketika mobil di depan anda sedang memperlambat atau menghentikan laju untuk berbelok, menyebrang jalan, terkena macet, dan lain sebagainya sehingga dapat menghambat laju kendaraan di belakangnya. Anda akan lebih mudah menyeberang jalan dengan lebih mudah, namun jangan menghambat mobil yang melambat tadi.

- Perhatikan orang lain dalam menyebrang jalan. Setiap orang memiliki tehnik yang berbeda dalam menyebrang jalan. semakin banyak metode yang anda pelajari, maka semakin mahir pula anda dalam menyebrang jalan.